Sepenggal Cerita di Kota Tua

26 Agustus 2013
Cerita yang singkat namun panjang...

Siang itu aku dan kedua rekanku, Monica dan Juwita, pergi ke Kota Tua. Bukan, bukan untuk hunting foto atau jalan-jalan, tapi untuk mencari jasa pembuatan gambar karikatur yang akan kami berikan sebagai kenang-kenangan atas kelulusan kakak-kakak dan abang-abang kami di PSPO UI (Paduan Suara Persekutuan Oikumene UI). Setahu kami, banyak info mengatakan bahwa jasa pembuatan gambar karikatur dapat kita temui salah satunya di sekitar daerah Kota Tua. Sebelumnya diantara kami bertiga memang belum pernah menggunakan jasa tersebut dan kondisinya kami sudah lama tidak ke sini jadi kami harus meraba-raba kembali Kota Tua dari sisi ke sisinya. Baru memasuki setapak area Museum Kota Tua, terasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Kalian pasti tau jalan menuju Museum Fatahillah dari arah Museum Mandiri yang khusus untuk pejalan kaki, dimana di sebelah sisi kiri kanan jalan terdapat batu berbentuk bola besar berjajar. Dari muka jalan, biasanya disitu sudah ramai dipenuhi oleh pedagang makanan khas Jakarta, seperti kerak telor, es potong, rokok, kopi, dan lain-lain (seingat kami sejak terakhir kami datang ke sini). Saat itu, tidak satu pun pedagang yang terlihat berjualan, sepi. Hanya terlihat beberapa gerombolan pengunjung wisata dan beberapa warga bukan pengunjung. Tidak terlalu fokus dengan hal tersebut, kami langsung mencari-cari keberadaan si pembuat karikatur. Sepanjang jalan, mataku terpaku pada beberapa orang di sisi jalan yang sedang duduk-duduk sambil bermain gitar. Yang membuat aku terpaku bukanlah dandanan mereka yang kurang rapi, berambut gimbal, pakaian seadanya, dan berbeda, bukan itu tapi buku gambar A3 yang terpajang di sebuah sandar lukis sederhana serta sebuah krayon hitam di sampingnya.

Dalam hati aku bertanya "apakah ini, dimana kita bisa membuat karikatur?", niat dalam hati ingin aku menghampiri dan bertanya langsung kepada mereka. Namun sambil melangkah pelan dan santai, aku urungkan niat tersebut, sebab aku takut melihat penampilan mereka. Ternyata hal yang sama dialami oleh kedua rekanku. Akhirnya kami pun meneruskan langkah kami.

Sampai persis di sebelah Museum Fatahillah, kami baru menyadari bahwa di sana banyak sekali pegawai Satpol PP berseragam sambil duduk-duduk. Awalnya kami tidak bertanya-tanya dan tetap meneruskan perjalanan. Di depan Cafe Batavia, kembali kami temukan segerombol Satpol PP dengan seragam yang sama. Berbelok ke arah indomaret dan Kantor Pos Indonesia, kami menemukan kembali banyak sekali Satpol PP berseragam berkeliling di sana. Mulailah kami bertanya-tanya "ada apa ini yah?". Namun sebatas itu saja, kami kembali fokus mencari keberadaan si pembuat karikatur yang tak kunjung ketemu. Karena sepertinya sejauh mata memandang tidak ada tanda-tanda keberadaan si pembuat karikatur, kami memutuskan untuk bertanya kepada salah satu bapak bersepeda ontel. Sejujurnya si bapak tidak menjawab perntanyaan kami, tapi dia bercerita "Hari ini sepi neng, patung-patung pada gak ada, penjual makanan juga, itu aja, sewa sepeda ontel juga cuma segitu. Hari ini lagi mulai penertiban Kota Tua neng, nanti semua penjual bakal dipindah ke kios-kios baru yang dibikin Bapak Walikota di sebelah sana. Mungkin mereka pada gak dateng karena takut ada penertiban kali. Besok mungkin udah rame neng, namanya juga baru hari pertama". Kurang lebih si bapak bercerita seperti itu. Dan itulah yang menjadi jawaban pertanyaan kami tentang Satpol PP "Oh, pantesan banyak Satpol PP, ada penertiban toh". Dalam hati, aku senang mendengar kabar tersebut. Batinku, ini kegiatan positif karena berdampak baik bagi banyak pihak. Pihak pengunjung dan wisatawan dapat dengan tenang berkunjung tanpa diganggu oleh pemandangan orang berjualan, dan mereka yang berjualan pun tidak kehilangan lapangan pekerjaan mereka karena toh akan ada tempat dan kios baru untuk mereka berjualan, solusi yang positif dari Bapak Walikota.

Kembali kami menelusuri sisi Kota Tua, namun nihil. Hal yang cari tidak juga terlihat. Sesaat saat kami sedang istirahat, aku teringat dengan buku gambar A3 diantara orang-orang yang menurutku 'menakutkan' di awal perjalanan kami. Aku pun mengatakan hal tersebut kepada kedua rekanku. Dan ternyata, Juwita pun melihat buku gambar tersebut. Sepikir denganku, dia tidak berhenti karena dia takut dengan penampilan orang-orang itu. Namun, sudah terlanjur kami kemari, kami tidak mau pulang dengan tangan kosong tanpa benar-benar berusaha. Akhirnya kami memutuskan untuk memberanikan diri kembali menemui orang-orang tersebut. Dengan keberanian penuh dan sedikit gemetar, kami menemui mereka dan bertanya "Bang, permisi di sini bisa bikin gambar sketsa atau karikatur?". Jawaban salah seorang dari mereka sangat mengagetkan kami, bukan kaget karena ketakutan, tapi kaget karena mereka begitu ramah dan hangat. Pelajaran pertama: don't judge a book by its cover!!!. Tidak sebatas itu, bahkan kami (Aku, Monica, Juwita, dan komunitas karikatur) ngobrol dengan akrabnya, berbagi cerita, bertanya, dan tertawa. Menyenangkan. 

Kenalan singkat melalui cerita dan obrolan akhirnya kami mengetahui bahwa yang paling banyak bicara dengan kami sekaligus yang paling muda bernama Andre, rekannya yang lain bernama El, dan si abang pelukis yang selalu dipanggil 'Bang' oleh semuanya. Sekilas, mereka bukan hanya pembuat sketsa dan karikatur, mereka pengukir kayu, punya band, bahkan mereka pernah datang ke Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia dalam acara Pagelaran Wayang (salah satu acara mahasiswa FIB UI, entah jurusan apa dan kapan waktunya). Intinya mereka adalah pelaku seni. Mungkin inilah yang membuat penampilan mereka berbeda dengan orang-orang pada umumnya dan terkesan 'menakutkan'. Sembari ngobrol, si pelukis yang biasa dipanggil 'Bang' oleh teman-temannya sedikit bercerita ketika kami tak sengaja mencetuskan kenapa hari ini suasananya sepi dan berbeda dari biasanya, "Ada penertiban. Tapi kami gak mau ditertibkan, kami gak mau pindah, kami tetap datang gak seperti yang lain yang tidak datang." Kembali Ia melukis sambil meneguk kopi dan menghisap rokoknya, "Emang sih udah di kasih tau dari kemarin. Katanya peduli, tapi kenapa baru sekarang? Setelah selama ini. Penertiban ini hanya akan menghilangkan esensi, rasa dan khas Kota Tua. Tertib apanya? Sepi sih iya. Pohon besar depan museum ditebang, orang-orang yang biasa di sini jadi gak boleh jualan lagi. Kami gak mau atmosfer Kota Tua yang telah kami bangun puluhan tahun ini hilang begitu saja, makanya kami tetap di sini". Wow, rasanya menusuk hati. Ingat pemikiranku dalam hati setelah kami berbicara denga si bapak sepeda ontel? Pelajaran kedua: jangan terlalu cepat menilai sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja!!! Selama ini, kebanyakan kita (termasuk aku) yang hanya sebagai pengamat, bukan suatu masalah jika ada hembusan penertiban dengan tujuan memperindah pemandangan tanpa kehadiran orang-orang yang berperan sebagai penikmat (menikmati hidup mereka bertahun-tahun di posisi yang sama, entah itu bekerja atau mencari penghasilan yang jelas mereka akan menganggap tempat tersebut adalah rumah kedua mereka, itu akan menjadi nikmat tersendiri bagi mereka). Tapi bagi si penikmat, penertiban ini adalah suatu kesedihan dan kekecewaan, penghilang rasa yang awalnya telah terciptakan. Si 'Bang' menegurku dengan ceritanya.

Selagi menunggu karikatur selesai dilukis, kami melihat gerak-gerik orang yang lalu lalang di depan kami. Beberapa kali, aku melihat orang mengambil foto kami yang sedang duduk bersama komunitas pelaku seni di pinggir jalan depan bangunan kuno di sana. Mereka mengambil foto dari jarak jauh tanpa melemparkan kontak mata dengan kami yang ada di situ. Tahukah kalian apa yang aku rasakan? Aku merasa jadi orang aneh yang tidak dipandang. Orang-orang itu mengambil foto kami karena mereka pikir kami (aku dan rekanku yang saat itu pasti terlihat sebagai anggota komunitas para pelaku seni tersebut) berbeda, unik, dan dapat didokumentasikan. Tapi mereka tidak mau menoleh sedikit pun memandang kami. Sehabis memotret, mereka kemudian pergi bergitu saja. Tidak peduli. "Oh, jadi begini rasanya jadi seperti mereka. Hanya dilihat untuk kepentingan pribadi orang lain, tanpa dipedulikan keberadaannya dan perasaannya", ucapku dalam hati. Sedih sekali rasanya. Kembali kami mengamati orang-orang yang lalu lalang, yang kebanyakan membawa kamera. Di seberang kami terdapat beberapa hasil kerajinan tangan yang seperti sudah tidak berharga. Salah satunya berbentuk seperti tempat sesajen kuno. Salah satu dari orang yang lalu lalang mengambil foto benda tersebut, "Ih, kenapa orang itu mengambil foto benda tersebut?" tanyaku dengan aneh maksud tersiratnya adalah masih ada benda lain yang jauh lebih bagus yang bisa diambil fotonya. "Itu apa yah yang difoto?" tanya Juwita, "Itu mungkin semacam tempat sesajen" jawab Monica. Setelah Monica menjawab pertanyaan Juwita, si 'Bang' langsung bertanya kepada kami bertiga "ada apa? ada apa?" seperti sangat peka mendengar sesuatu, padahal kami berbicara sambil berbisik. "Engga, itu apa yah bang?" tanya Monica, "Oh, itu tempat kerja kita, hasil karya seni. Disitu tempat kita membuat karya" jawab si 'Bang'. Waw, kembali hatiku tertusuk. Pelajaran ketiga: jangan pernah merendahkan sesuatu, sekecil apapun itu, seperti apapun rupanya!!! Kami terlalu cepat mengunderestimatekan sesuatu.

Setelah selesai melukis, beberapa dari mereka bertanya PSPO itu apa? Kami menjelaskan bahwa PSPO adalah Paduan Suara Persekutuan Oikumene UI. Hampir semua dari mereka bertanya-tanya maksudnya persekutuan dan oikumene itu apa, bahkan untuk melafalkan katanya saja mereka kesusahan, mungkin karena mereka kurang familiar dengan kata-kata tersebut. Satu yang membuat kami kaget adalah saat si 'Bang' berkata "Oh persekutuan yah? Perkumpulan gitu kan? Kayak di gereja-gereja, kayak persekutuan doa gitu?" dengan segera kami menjawab "Ah iya iya bang, begitulah kira-kira". Sejenak setalah percakapan itu berlangsung, kami dapat melihat sekilas wajah 'Bang' dengan ekspresi seperti orang yang teringat kembali akan suatu hal penting yang pernah atau sudah dia tinggalkan. Ada rasa iba, penasaran sekaligus terharu melihat ekspresi seorang 'Bang' yang seperti itu. 'Bang' mengerti dengan arti persekutuan secara dasar, bahkan sampai ke persekutuan doa, dia familiar dengan semua kata itu. Hal inilah yang membuat kami berhipotesa kalau 'Bang' adalah seorang anak Tuhan yang sedang tersesat. Sayang saat itu kami belum diberikan Tuhan kesempatan untuk berPI. Kami hanya bisa membawa 'Bang' dalam doa kami, biar Tuhan yang tahu dan mengubahkan hidup 'Bang', sebab sejujurnya kami sangat yakin bahwa 'Bang' adalah sesama orang percaya. Sampai bertemu lagi 'Bang', suatu saat nanti. Anyway, kalau kalian melihat pelukis sekitar kota tua yang duduk di sisi bangunan sepanjang jalan menuju museum Fatahillah, sambil duduk-duduk bermain gitar dengan beberapa orang temannya dan wajahnya mirip dengan penyanyi Glenn Fredly, itulah 'Bang'. Terima kasih 'Bang' telah memberikan kami banyak pelajaran, Tuhan memberkati :)

Article "Sepenggal Cerita di Kota Tua" protected

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama